Kawasan perbatasan memiliki nilai strategis bagi suatu Negara dalam mendukung keberhasilan pembangunan, hal tersebut di karenakan kawasan perbatasan merupakan representative nilai kedaulatan suatu Negara,bermula dari kawasan perbatasan akan mendorong perkembangan ekonomi, social budaya dan kegiatan masyarakat lainnya yang akan saling mempengaruhi antara Negara, sehingga berdampak pada strategi kemanan dan pertahanan Negara. Kawasan perbatasan suatu Negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah Negara,Secara garis besar terdapat tiga isu utama dalam pengelolaan kawasan perbatasan antar negara, yaitu:
(a) Penetapan garis batas baik di darat mau pun laut;
(b) Pengamanan kawasan perbatasan; dan
(c) Pengembangan kawasan perbatasan.
Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang batas negaranya ada di dua matra, yaitu di laut dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, dan di darat dengan 3 (tiga) negara tetangga. Sesuai dengan letak geografis, wilayah darat Republik Indonesia berbatasan dengan tiga Negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Timor Leste. Sedangkan untuk wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh Negara yaitu Australia, India, Thailand, Malaysia, Sin gapura, Vietnam, Filipina, PNG, Palau dan Timor Leste.
Dari ketiga batas wilayah darat Negara, perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia Timur (Serawak dan Sabah) di wilayah pulau Kalimantan, merupakan batas Negara yang memilki kompleksitas permasalahan tertinggi, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan membentang sepanjang ± 1.840 km (mencakup wilayah Propinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Utara ± 1.035 km dan Kalimantan Barat ± 805 km), dengan bentang garis perbatasan yang panjang antar kedua Negara memunculkan berbagai persoalan yang memilki nilai strategis keutuhan dan keamanan kedua Negara, diantaranya.
Pertama penentuan batas darat yang belum sepenuhnya di sepakati rujukan agreement kedua negara adalah pada konvensi pemerintah colonial Belanda dan Inggris Raya tahun 1891, 1915, dan 1928 yang hingga saat ini masih terdapat 10 titik OBP (Outstanding Boundary Problems) yang berdampak pada kehidupan social ekonomi masyarakat di perbatasan yang mengancam kedulatan negara.
Kedua sejak dibukanya pintu perbatasan (border gate) di beberapa titik di Kalimantan, ternyata telah memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di sekitar perbatasan dan masyarakat Indonesia pada umumnya, kesenjangan pembangunan infrastrukur dikawasan perbatasan antar kedua negara sangat jauh berbeda, yang berdampak pada kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan antara masyarakat perbatasan di Indonesia dan di Malaysia,
Ketiga permasalahan kehidupan ekonomi yang menunjukan perbedaan yang sangat menonjol mengakibatkan munculnya kegiatan ekonomi iegal di antaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya system pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi nasionalisme.
Permasalahan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks ini, kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah atau pemangku kepentingan. Penanganan perbatasan selama ini belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, seringkali terjaditarik menarik kepentingan antara berbagai pihak yang menangani wilayah perbatasan baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perbatasan yang seakan lepas dari perhatian pemerintah pusat maupun daerah, Kondisi di lapangan memperlihatkan banyak kebijakan pengelolaan perbatasan negara yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinergis satu sama lain. Selama ini penanganan terhadap masalah-masalah yang muncul seputar perbatasan masih bersifat ad-hoc, parsial dan spora diisoleh instansi atau lembaga yang berbeda-beda.
Kondisi diatas memberikan gambaran bahwa lemahnya kekuatan politik penganggaran yang masih berbasis pada konstituen atau lumbung suara bagi anggota legislatif, dan penyediaan anggaran Pemerintah untuk pembangunan infrastrukur relati fkecil dibandingkan kebutuhan sebenarnyadan VISI Percepatan pembangunan kawasan perbatasan belum sepenuhnya sejalan antara K/L.
Oleh karenanya Pengelolaan perbatasan harus lebih terarah, terpadu, terpogram dan terkendali yang didukung visi dan misi yang jelas, grand design dan master plan, serta rencana aksi dan implementasi yang didukung oleh seluruh elemen dan komitmen yang tinggi dari K/L, DPR, dengan mengutamakan pemberdayaan potensi kawasan perbatasan yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan unsur nilai-nilai kearifan lokal. Dan perlu adanya kemauan dan pemahaman bersama untuk percepatan pengembangan kawasan perbatasan agar tidak ada tumpang tindih kebijakan dan aturan serta program dari semua kementerian/lembaga terkait dalam pengelolaan perbatasan.
(a) Penetapan garis batas baik di darat mau pun laut;
(b) Pengamanan kawasan perbatasan; dan
(c) Pengembangan kawasan perbatasan.
Indonesia merupakan negara terbesar kelima di dunia yang batas negaranya ada di dua matra, yaitu di laut dengan 10 (sepuluh) negara tetangga, dan di darat dengan 3 (tiga) negara tetangga. Sesuai dengan letak geografis, wilayah darat Republik Indonesia berbatasan dengan tiga Negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Timor Leste. Sedangkan untuk wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh Negara yaitu Australia, India, Thailand, Malaysia, Sin gapura, Vietnam, Filipina, PNG, Palau dan Timor Leste.
Dari ketiga batas wilayah darat Negara, perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia Timur (Serawak dan Sabah) di wilayah pulau Kalimantan, merupakan batas Negara yang memilki kompleksitas permasalahan tertinggi, wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan membentang sepanjang ± 1.840 km (mencakup wilayah Propinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Utara ± 1.035 km dan Kalimantan Barat ± 805 km), dengan bentang garis perbatasan yang panjang antar kedua Negara memunculkan berbagai persoalan yang memilki nilai strategis keutuhan dan keamanan kedua Negara, diantaranya.
Pertama penentuan batas darat yang belum sepenuhnya di sepakati rujukan agreement kedua negara adalah pada konvensi pemerintah colonial Belanda dan Inggris Raya tahun 1891, 1915, dan 1928 yang hingga saat ini masih terdapat 10 titik OBP (Outstanding Boundary Problems) yang berdampak pada kehidupan social ekonomi masyarakat di perbatasan yang mengancam kedulatan negara.
Kedua sejak dibukanya pintu perbatasan (border gate) di beberapa titik di Kalimantan, ternyata telah memperlihatkan kepada masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat di sekitar perbatasan dan masyarakat Indonesia pada umumnya, kesenjangan pembangunan infrastrukur dikawasan perbatasan antar kedua negara sangat jauh berbeda, yang berdampak pada kesenjangan sosial, ekonomi dan kesejahteraan antara masyarakat perbatasan di Indonesia dan di Malaysia,
Ketiga permasalahan kehidupan ekonomi yang menunjukan perbedaan yang sangat menonjol mengakibatkan munculnya kegiatan ekonomi iegal di antaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya system pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi nasionalisme.
Permasalahan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks ini, kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah atau pemangku kepentingan. Penanganan perbatasan selama ini belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, seringkali terjaditarik menarik kepentingan antara berbagai pihak yang menangani wilayah perbatasan baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perbatasan yang seakan lepas dari perhatian pemerintah pusat maupun daerah, Kondisi di lapangan memperlihatkan banyak kebijakan pengelolaan perbatasan negara yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinergis satu sama lain. Selama ini penanganan terhadap masalah-masalah yang muncul seputar perbatasan masih bersifat ad-hoc, parsial dan spora diisoleh instansi atau lembaga yang berbeda-beda.
Kondisi diatas memberikan gambaran bahwa lemahnya kekuatan politik penganggaran yang masih berbasis pada konstituen atau lumbung suara bagi anggota legislatif, dan penyediaan anggaran Pemerintah untuk pembangunan infrastrukur relati fkecil dibandingkan kebutuhan sebenarnyadan VISI Percepatan pembangunan kawasan perbatasan belum sepenuhnya sejalan antara K/L.
Oleh karenanya Pengelolaan perbatasan harus lebih terarah, terpadu, terpogram dan terkendali yang didukung visi dan misi yang jelas, grand design dan master plan, serta rencana aksi dan implementasi yang didukung oleh seluruh elemen dan komitmen yang tinggi dari K/L, DPR, dengan mengutamakan pemberdayaan potensi kawasan perbatasan yang meliputi unsur sumber daya manusia, sumber daya alam, dan unsur nilai-nilai kearifan lokal. Dan perlu adanya kemauan dan pemahaman bersama untuk percepatan pengembangan kawasan perbatasan agar tidak ada tumpang tindih kebijakan dan aturan serta program dari semua kementerian/lembaga terkait dalam pengelolaan perbatasan.